Sejarah mencatat bahwa Islam pernah menjadi mercusuar peradaban. Pada abad ke-8 hingga ke-13 M, dunia menyaksikan bagaimana para cendekiawan Muslim seperti Al-Khawarizmi (penemu aljabar), Ibnu Sina (Bapak Kedokteran Modern), Al-Biruni (ahli astronomi dan geodesi), serta Al-Jazari (perintis teknik mesin) melahirkan inovasi yang mengubah wajah sains, ekonomi, dan kebudayaan global. Baghdad, Kairo, dan Cordoba menjadi pusat pengetahuan yang menyatukan rasionalitas Yunani, keajaiban matematika India, dan semangat eksplorasi Islam. Namun, hari ini, umat Muslim justru terpinggirkan dalam percaturan peradaban kontemporer. Teknologi dikuasai Silicon Valley, ekonomi dunia dikendalikan Wall Street, dan inovasi lahir dari laboratorium di negara-negara non-Muslim.
Membedah Akar Krisis: Dari Otoritas Ilmu ke Mentalitas Konsumtif
Kemunduran peradaban Muslim berakar pada pergeseran paradigma dari kultur keilmuan ke kultur kepatuhan semu. Pada masa keemasan, Islam memuliakan thalab al-‘ilm (pencarian ilmu) sebagai ibadah. Karya-karya filsuf dan saintis Muslim didorong oleh semangat Ijtihad — upaya kritis untuk memahami realitas melalui nalar dan wahyu. Namun, pascakeruntuhan Baghdad (1258 M) dan stagnasi pemikiran abad pertengahan, semangat ini tergantikan oleh doktrin taqlid buta (peniruan tanpa kritik). Ilmu pengetahuan dipisahkan dari agama, sains dianggap sebagai "produk Barat", dan umat terjebak dalam dikotomi "duniawi vs ukhrawi". Hasilnya? Umat Muslim menjadi penonton, bukan pelaku, dalam revolusi industri, digital, dan bio-teknologi.
Faktor struktural juga tak bisa diabaikan. Kolonialisme meruntuhkan sistem pendidikan, ekonomi, dan politik umat Muslim, menggantikannya dengan struktur yang bergantung pada mantan penjajah. Negara-negara Muslim kaya sumber daya alam terjebak dalam "kutukan minyak" — mengandalkan rente ekonomi alih-alih membangun kapasitas inovasi. Di banyak negara, pendidikan agama terjebak pada formalisme ritual tanpa merangsang nalar kritis.
Namun, hari ini, kritik bahwa umat Islam bagaikan "buih di lautan"—banyak jumlahnya, tetapi minim kontribusi—menyentuh titik saraf yang pahit. Data Bank Dunia (2023) menunjukkan bahwa negara-negara mayoritas Muslim menyumbang hanya 8% dari total ekspor teknologi global. Lembaga pendidikan tinggi di dunia Islam hanya menyumbang 1,8% publikasi ilmiah global (Nature Index, 2022). Data Bank Dunia (2023) menunjukkan, total belanja riset dan pengembangan (R&D) negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) hanya 0,5% dari PDB, jauh di bawah rata-rata global (1,7%). Bandingkan dengan Israel (4,9%) atau Korea Selatan (4,8%). Tanpa investasi pada ilmu pengetahuan, mustahil umat Muslim bisa bersaing.
Mengapa Umat Muslim Terjebak dalam Mentalitas Buih?
Metafora "buih di lautan" dalam sabda Nabi Muhammad SAW menggambarkan kelompok yang banyak jumlahnya, tetapi tak memiliki bobot substansial. Fenomena ini terwujud dalam beberapa bentuk:
Konsumerisme yang Dianggap Normal
Umat Muslim menghabiskan Rp 1.300 triliun untuk gaya hidup (Global Islamic Economy Report, 2022), tetapi hanya 2% dari wakaf global yang dialokasikan untuk pendidikan dan riset. Kita bangga membeli produk teknologi Barat, tetapi enggan menciptakan start-up berbasis syariah yang inovatif.
Pendidikan yang Membunuh Kreativitas
Selain itu, sistem pendidikan di banyak negara Muslim masih berkutat pada hafalan dan dogma ketimbang pemikiran kritis. Laporan UNESCO (2022) menyebutkan bahwa 60% sekolah di dunia Arab tidak mengajarkan keterampilan analitis dasar. Sementara itu, oligarki politik dan korupsi menghambat alokasi sumber daya untuk inovasi. Hasilnya adalah lingkaran setan: masyarakat terdidik namun tidak terlatih berpikir mandiri, sumber daya alam melimpah tetapi tidak dikelola secara berkelanjutan. Hasilnya, menurut PISA 2022, siswa Muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan tertinggal 3 tahun dibanding rata-rata OECD dalam literasi sains.
Krisis Kepemimpinan Intelektual
Umat Muslim kekurangan tokoh seperti Al-Farabi atau Ibnu Khaldun yang mampu memadukan visi spiritual dengan solusi duniawi. Ulama lebih sibuk berdebat hukum bid’ah daripada menjawab tantangan AI, perubahan iklim, atau ketimpangan ekonomi.
Warisan Kolonial yang Menjadi Jerat
Kemunduran ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Kolonialisme selama berabad-abad telah meruntuhkan struktur politik-ekonomi umat Islam, menggantikan kemandirian dengan ketergantungan. Namun, faktor eksternal saja tidak cukup menjelaskan stagnasi ini. Ada krisis internal yang lebih dalam: fragmentasi epistemologis. Banyak masyarakat Muslim terjebak dalam dikotomi semu antara "ilmu agama" dan "ilmu duniawi", seolah keduanya terpisah. Padahal, di era keemasan, kedokteran dan astronomi berkembang justru karena dorongan ayat-ayat Al-Qur'an.
Ekonomi yang Terjajah oleh Kepentingan Asing
Sumber daya alam melimpah di Timur Tengah dan Afrika justru menjadi "kutukan". Minyak dan gas—yang seharusnya menjadi modal pembangunan—sering dikelola oleh korporasi asing, sementara elite lokal lebih sibuk berkonflik. Hasilnya: 40% negara berpenduduk Muslim masuk kategori "rentan secara ekonomi" (World Bank, 2023).
Jalan Keluar: Menghidupkan Kembali Semangat Ijtihad dan Iqra’
Kebangkitan peradaban Muslim harus dimulai dari rekonstruksi epistemologi — cara kita memandang ilmu, kekuasaan, dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah. Beberapa langkah konkret:
Revolusi Pendidikan: Dari Taqlid ke Tafaqquh
Sekolah dan universitas perlu mengajarkan sains, filsafat, dan seni sebagai bagian dari ibadah. Kurikulum harus mendorong pertanyaan kritis: Bagaimana merancang ekonomi syariah yang adil di era kapitalisme digital? Bagaimana fatwa etika AI dirumuskan?
Investasi pada SDM, Bukan Hanya Masjid
Dana haji dan zakat yang mencapai triliunan rupiah bisa dialihkan ke beasiswa riset, laboratorium, dan inkubator bisnis.
Memimpin Isu Kemanusiaan Global
Umat Muslim harus menjadi pelopor solusi krisis iklim (misalnya, dengan mengembangkan energi terbarukan berbasis prinsip hima/konservasi), advokat keadilan ekonomi (melawan sistem riba global), dan mediator perdamaian dunia. Ini adalah bentuk jihad kontemporer.
Merangkul Tradisi dan Modernitas Secara Kritis
Seperti era keemasan dulu, umat Muslim harus berani "mencuri api" kemajuan Barat, lalu menyulingnya dengan nilai-nilai tauhid. Jepang modernisasi tanpa kehilangan identitas; Muslim pun bisa.
Penutup: Dari Buih Menjadi Ombak Pengubah Zaman
Metafora "buih di lautan" dalam hadis Nabi Saw. sering disalahpahami sebagai takdir. Padahal, buih adalah fase sementara—ia muncul ketika ombak menghantam karang, lalu lenyap ketika laut tenang. Masalahnya bukan pada "menjadi buih", melainkan pada kesadaran untuk mengubah gelombang. Umat Islam perlu kembali ke akar epistemologinya: menjadi rahmatan lil 'alamin dengan merangkul ilmu, keadilan, dan kolaborasi.
Sejarah membuktikan bahwa peradaban bangkit bukan karena jumlah manusia, melainkan karena kualitas pemikiran dan keteguhan moral. Saatnya umat Islam meninggalkan mentalitas korban, membangun jaringan ilmu lintas-batas, dan berani berinvestasi dalam inovasi. Seperti biji yang tertanam di tanah subur, potensi itu ada—tinggal menunggu kesungguhan untuk menyiraminya.
"Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra’d: 11).
Ini bukan soal agama, melainkan soal pilihan: apakah kita ingin menjadi buih yang pasif, atau ombak yang mengukir sejarah?.