Fiqih adalah sarana intelektual manusia untuk memahami hukum syariat, bukan hukum itu sendiri. Sebagai produk pemikiran manusia, fiqih memiliki ruang interpretasi yang luas, karena ia dipengaruhi oleh konteks sejarah, sosial, dan budaya tempat para ulama merumuskannya. Namun, kebijaksanaan dalam menafsirkan fiqih menjadi mutlak diperlukan agar tidak justru melahirkan pembenaran terhadap tindakan yang secara moral atau struktural merusak tatanan masyarakat.
Pernyataan Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, yang menyatakan bahwa menyogok boleh dilakukan untuk meraih hak yang seharusnya menjadi milik seseorang, memerlukan penelaahan yang lebih kritis. Pernyataan ini memang memiliki landasan dalam literatur fiqih klasik, di mana sebagian ulama membolehkan risywah (suap) dalam kondisi darurat, seperti ketika hak seseorang dirampas secara zalim dan tidak ada jalan lain kecuali melalui sogokan untuk mengembalikannya. Akan tetapi, penerapan kaidah ini dalam konteks modern, terutama menyangkut korupsi yang melibatkan kekuasaan, membawa risiko besar terhadap keadilan, tata kelola yang baik, dan tatanan sosial. Pernyataan tersebut, yang disampaikan dalam forum pembahasan RUU Pertambangan dan Mineral (Minerba), mencuatkan pertanyaan mendasar: apakah fiqih dapat dijadikan landasan untuk membenarkan tindakan koruptif? Dan lebih jauh, bagaimana kita memahami batasan antara “hak” dan “kebatilan” dalam praktik menyogok?
Fiqih dan Konteks Moralitas
Fiqih adalah produk ijtihad manusia untuk memahami hukum-hukum Allah dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, produk ijtihad ini, sebagaimana sifatnya yang manusiawi, rentan dipengaruhi konteks, sudut pandang, dan bahkan kepentingan tertentu. Dalam sejarah Islam, fiqih lahir dari kondisi sosial yang beragam, sehingga menghasilkan berbagai madzhab dengan pendekatan yang berbeda. Namun, satu prinsip yang selalu ditegakkan oleh para ulama adalah bahwa fiqih tidak boleh digunakan untuk membenarkan kezaliman, apalagi korupsi.
Pertama-tama, penting untuk diingat bahwa meskipun fiqih memberikan ruang fleksibilitas dalam beberapa kasus, moralitas Islam tidak terpisahkan dari aspek hukum. Islam tidak hanya berbicara tentang "apa yang boleh" atau "apa yang dilarang", tetapi juga tentang "apa yang baik" dan "apa yang buruk". Dalam konteks menyogok demi mendapatkan hak, meski secara tekstual ada pembolehan dalam kondisi tertentu, apakah itu sesuai dengan prinsip keadilan dan maslahat umum yang menjadi tujuan utama syariat (maqashid syariah)?
Misalnya, jika seorang individu menyogok pejabat untuk mendapatkan haknya yang dirampas, ia mungkin merasa adil bagi dirinya sendiri. Tetapi, apakah hal ini akan mendorong perilaku yang sama oleh pihak lain? Apakah ini tidak justru memperkokoh budaya sogok-menyogok dan korupsi yang merusak tatanan sosial secara keseluruhan? Dalam hal ini, moralitas dan dampak sosial harus menjadi pertimbangan utama.
Distorsi Makna “Hak”
Pernyataan Ulil, yang memberikan contoh sogokan kepada rakyat agar mendukung kebijakan pemerintah, menimbulkan pertanyaan serius. Apa yang dimaksud dengan “hak” dalam konteks ini? Jika "hak" yang dimaksud adalah keuntungan bagi kelompok tertentu dengan mengorbankan prinsip keadilan, maka sogokan itu berubah menjadi alat manipulasi. Memberikan konsesi tambang kepada organisasi tertentu untuk mendapatkan dukungan politik, misalnya, adalah tindakan yang tidak lagi menyentuh wilayah "hak". Itu adalah tindakan transaksional yang berpotensi merampas hak rakyat banyak atas sumber daya alam.
Menyamakan sogokan dalam situasi kezaliman struktural (di mana rakyat kecil dipaksa untuk menyuap demi haknya) dengan pemberian konsesi tambang atau praktik politik tingkat tinggi adalah penyederhanaan yang keliru. Jika pemerintah menyuap ormas demi mendapatkan dukungan, ini bukan sekadar soal "meraih hak," melainkan soal manipulasi kekuasaan dan pelanggengan kepentingan politik. Dalam kasus ini, sogokan justru berpotensi mengukuhkan struktur korup yang tidak adil.
Jika fiqih dijadikan dasar untuk membenarkan tindakan seperti ini, maka ia tidak lagi menjadi ilmu yang mendekatkan kita kepada nilai-nilai luhur agama, tetapi menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan.
Fiqih Bukanlah Alat untuk Membenarkan Sistem yang Rusak
Dalam masyarakat yang sehat, seseorang tidak perlu menyogok untuk mendapatkan haknya. Sistem yang baik adalah sistem yang menjamin hak setiap individu tanpa ada manipulasi. Oleh karena itu, memperbolehkan sogokan, meskipun dengan niat mendapatkan hak, justru memperkuat sistem yang korup. Dalam jangka panjang, hal ini akan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Islam tidak pernah mendorong solusi yang hanya menyelesaikan masalah individu tetapi mengorbankan maslahat umum.
Fiqih, sebagai ilmu tentang cara beragama, seharusnya menjadi jalan menuju ketakwaan dan keadilan. Ketika fiqih dipakai untuk membenarkan sogokan, kita menghadapi risiko besar: norma-norma agama dijadikan alat justifikasi untuk tindakan yang pada dasarnya merusak tatanan sosial. Apa yang dikhawatirkan adalah munculnya relativisme moral di mana sesuatu yang salah bisa terlihat benar dengan dalih “konteks fiqih.”
Dalam perspektif etika Islam yang lebih universal, korupsi dalam bentuk apa pun, termasuk menyogok, adalah dosa besar karena merusak amanah, keadilan, dan keseimbangan sosial. Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Apakah dengan dalil fiqih tertentu, kita berani melonggarkan ancaman laknat ini?
Kritik & Krisis Kepercayaan Publik
Pernyataan semacam ini juga mengungkapkan kecenderungan pragmatisme dalam memahami fiqih. Dalam pandangan yang pragmatis, segala sesuatu diukur berdasarkan manfaat langsung yang dapat diraih, tanpa mempertimbangkan dampak sistemik dan nilai-nilai moral yang lebih besar. Ini berbahaya, karena agama bisa kehilangan sifat transformatifnya yang bertujuan untuk memperbaiki manusia dan masyarakat.
Islam tidak sekadar membahas bagaimana cara seseorang mendapatkan haknya, tetapi juga bagaimana menciptakan sistem yang adil sehingga hak itu tidak perlu diperebutkan dengan cara-cara yang merusak. Jika ulama dan organisasi besar seperti PBNU mulai memberikan justifikasi terhadap tindakan-tindakan yang merusak tatanan sosial dengan alasan "demi mendapatkan hak", maka kita harus bertanya: siapa yang akan memperjuangkan keadilan sistemik?
Pernyataan seperti ini juga memiliki dampak politis yang luas. Di tengah upaya pemberantasan korupsi yang masih menghadapi tantangan besar di Indonesia, legitimasi agama untuk membenarkan praktik koruptif dapat memperparah krisis kepercayaan publik terhadap institusi agama. Ketika tokoh agama membolehkan sogokan dalam konteks tertentu, bagaimana masyarakat awam dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Akankah ini menjadi preseden buruk yang merusak upaya kolektif menuju pemerintahan yang bersih dan transparan?
Penutup
Jika kita membiarkan fiqih digunakan untuk membenarkan tindakan koruptif, maka kita bukan hanya merusak tatanan hukum dan moralitas, tetapi juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap agama sebagai pembawa nilai-nilai luhur. Seharusnya, ulama dan organisasi besar seperti PBNU tidak hanya menyoroti kebolehan dalam kasus tertentu, tetapi juga mengarahkan umat pada perjuangan untuk menciptakan sistem yang adil, di mana tidak ada lagi hak yang harus diperjuangkan melalui sogokan.
Pernyataan membolehkan sogokan demi “hak” memerlukan evaluasi kritis. Apakah benar kita sedang membicarakan hak, ataukah ini sekadar upaya melegitimasi tindakan yang seharusnya kita lawan? Korupsi, dalam bentuk apa pun, adalah kezaliman yang menghancurkan tatanan masyarakat. Dan fiqih, sebagai alat memahami agama, seharusnya menjadi pembimbing kita untuk menghindari kezaliman, bukan sebaliknya.
Sumber :
https://asumsi.co/post/99343/pbnu-bolehkan-menyogok-asal-buat-dapatkan-hak
https://www.youtube.com/watch?v=bp2O7kXCNX4