Request By : Rums
Fenomena kecaman terhadap perokok yang disertai dalih agama dan kesehatan, sementara para pengecam sendiri abai merawat tubuh, mengundang dialektika mendalam tentang konsistensi moral, integritas diri, dan hakikat tanggung jawab manusia sebagai hamba Tuhan. Kritik terhadap rokok memang valid secara medis: asapnya merusak paru, kandungan karsinogen memicu kanker, dan ketergantungan nikotin membelenggu kebebasan jiwa. Argumen agama yang menekankan larangan merusak diri :
“Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. Berbuat baiklah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”(QS Al-Baqarah : 195)
atau
”Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
Namun, ketika kecaman itu datang dari mereka yang justru mengabaikan kesehatan melalui pola hidup pasif, konsumsi junk food berlebihan, atau pembiaran obesitas, muncul pertanyaan: apakah kita sedang melawan kebiasaan buruk, atau sekadar mencari pembenaran untuk merasa lebih suci?
Kecaman terhadap perokok sering kali terjebak dalam logika binary: “kami benar, kalian salah”. Padahal, tubuh yang tidak dirawat—entah karena rokok, pola makan buruk, atau gaya hidup beragam—adalah manifestasi dari sikap yang sama: pengabaian terhadap anugerah kehidupan. Agama mengajarkan bahwa tubuh adalah amanah (titipan) yang harus dijaga
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu." (QS An-Nisa':29).
Jika merokok dianggap melanggar amanah ini, maka makan berlebihan hingga obesitas, malas bergerak, atau memicu diabetes lewat gula tinggi juga patut dikategorikan sebagai kelalaian yang serupa.
Ironisnya, banyak pengecam rokok justru terjebak dalam pola hidup tidak sehat yang mereka anggap “normal” karena tidak terstigma sosial. Makan cepat saji tiga kali sehari dianggap wajar, sementara merokok di teras rumah dihakimi sebagai dosa. Di sini, kesehatan bukan lagi menjadi nilai universal, melainkan alat untuk menegaskan hierarki moral: “Aku lebih baik darimu.”
Jika di hari akhir nanti manusia dimintai pertanggungjawaban atas tubuhnya, pertanyaannya bukan hanya “Mengapa kau merokok?” tetapi juga “Mengapa kau biarkan jantungmu lemah karena malas berolahraga?” atau “Mengapa kau rusak pencernaanmu dengan makanan sampah?” Setiap kelalaian—dari rokok hingga gula darah tinggi—adalah cermin dari sikap kita terhadap kehidupan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mu’min yang lemah” (HR. Muslim). “Kuat” di sini mencakup fisik, mental, dan spiritual. Artinya, merusak tubuh dengan sengaja—dalam bentuk apa pun—adalah pengingkaran terhadap kekuatan yang dianjurkan agama.
Namun, agama juga mengajarkan bahwa manusia tempatnya salah. Daripada sibuk menghakimi orang lain, Islam menekankan muhasabah (introspeksi diri)
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."(QS 59:18).
Kritik terhadap perokok kehilangan maknanya jika disampaikan dengan kesombongan, tanpa kesadaran bahwa kita semua rentan lalai.
Persoalan ini bukan tentang “siapa lebih buruk”, melainkan bagaimana membangun kesadaran kolektif bahwa menjaga kesehatan adalah bentuk syukur. Alih-alih mengutuk perokok. Banyak orang berperut buncit ingin kurus tetapi terjebak rutinitas. Dukungan sosial dan sistem kesehatan yang inklusif lebih dibutuhkan daripada penghakiman.
Akhirat mengingatkan kita bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi. Tapi, jalan menuju pertanggungjawaban itu dimulai dari pengakuan bahwa kita semua tidak sempurna. Daripada menggunakan agama sebagai tameng untuk menghukum, mari gunakan ia sebagai cahaya untuk membimbing diri dan sesama. Sebab, menjaga tubuh bukan hanya tentang menghindari rokok, melainkan merawat seluruh aspek kehidupan dengan kesadaran bahwa kita akan mempertanggungjawabkan pendengaran, penglihatan, dan hati
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban." (QS 17:36).