Demokrasi adalah sistem yang kompleks, penuh paradoks. Di satu sisi, ia menjanjikan kebebasan berekspresi dan berorganisasi; di sisi lain, ia sering melahirkan monster yang justru menggerogoti nilai-nilai dasarnya. Ormas (organisasi masyarakat) adalah salah satu contoh paradoks ini. Sebagai produk demokrasi, ormas adalah keniscayaan. Namun, ketika ia menjelma menjadi alat premanisme yang menebar ketakutan, ia berubah menjadi "sampah demokrasi"—limbah yang meracuni tatanan sosial dan politik. Bagaimana kita memahami fenomena ini?
Premanisme bukanlah entitas yang muncul dari ruang hampa. Ia adalah anak kandung dari ketiadaan negara dalam menjalankan mandatnya. Di jalanan, preman mengatur parkir karena polisi absen. Di pasar, mereka memungut retribusi liar karena pemerintah tak mampu mengelola tata niaga. Di kawasan kumuh, mereka menjadi "penjaga ketertiban" karena hukum hanya menjadi tulisan di buku. Preman adalah manusia yang terlempar dari sistem: mereka gagal diakomodasi negara, lalu menciptakan lapangan kerja ilegal di celah-celah ketidakberdayaan negara.
Dalam konteks ini, premanisme adalah bentuk protes diam-diam. Mereka mengisi kekosongan otoritas, sekaligus mengeksploitasinya. Namun, yang lebih ironis adalah ketika negara justru mengakomodasi premanisme ini ke dalam ormas. Negara mengubah gerombolan preman menjadi "mitra" dengan dalih menjaga stabilitas. Alih-alih memberantas kejahatan, negara membangun transaksi dengan pelakunya.
Ada logika pragmatis di balik pembentukan ormas: "Lebih baik preman dikumpulkan dan diberi visi-misi daripada dibiarkan liar." Negara memberi mereka legitimasi, seragam, dan tugas—misalnya, menjaga keamanan lingkungan atau "membasmi musuh negara." Namun, pertentangan muncul ketika ormas ini tetap mempertahankan mentalitas preman. Mereka menggunakan kekuatan massa untuk menekan lawan, mengintimidasi warga, atau melindungi kepentingan elit yang membiayai mereka.
Di sini, ormas menjadi alat transaksional. Mereka bukan lagi perpanjangan tangan negara, melainkan kaki tangan kekuasaan yang korup. Ketika elit politik membutuhkan "tenaga kasar" untuk meredam kritik atau merebut sumber daya, ormas siap menjadi pelaksana. Praktik ini mengubah demokrasi menjadi sandiwara kekerasan: negara berpura-pura tidak melihat, penegak hukum tutup mata, sementara preman berkedok ormas bebas bergerak.
Kehancuran demokrasi tidak dimulai dari preman di jalanan, melainkan dari ruang-ruang kantor pemerintah dan pengadilan. Ketika hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, ketika aparat lebih sibuk melayani kuasa daripada keadilan, ketika negara memilih berkolusi dengan preman ketimbang memberdayakan masyarakat—saat itulah demokrasi menjadi mayat berjalan.
Absennya penegakan hukum adalah pengkhianatan terhadap konstitusi. Negara yang seharusnya menjadi penjaga kebebasan dan keadilan justru membiarkan premanisme tumbuh subur. Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan kejahatan terstruktur. Demokrasi tanpa rule of law hanyalah ilusi, dan ormas yang korup adalah bukti nyata ilusi itu.
Untuk memutus lingkaran setan ini, diperlukan langkah radikal:
Negara harus hadir secara nyata, bukan sekadar retorika. Infrastruktur hukum, ekonomi, dan sosial harus dibangun hingga ke akar rumput. Premanisme hanya bisa dihapus jika negara menyediakan akses kerja, pendidikan, dan keadilan bagi semua.
Ormas perlu direformasi. Legitimasi ormas harus dikaitkan dengan akuntabilitas publik. Setiap organisasi wajib transparan dalam pendanaan dan program. Jika ormas melanggar hukum, negara harus bertindak tegas—tanpa kompromi.
Pemberantasan korupsi sistemik. Kolusi antara elit dan preman hanya mungkin terjadi dalam sistem yang korup. Penegakan hukum harus dimulai dari hulu: membersihkan birokrasi, mengadili pejabat nakal, dan memutus jaringan kotor antara politik dan premanisme.
Pendidikan kewarganegaraan. Masyarakat perlu disadarkan bahwa premanisme bukan solusi, melainkan penyakit. Partisipasi warga dalam mengawasi kekuasaan adalah benteng terakhir demokrasi.
Demokrasi adalah sistem yang mulia, tetapi ia mudah membusuk ketika diisi oleh kepentingan-kepentingan jahat. Ormas bisa menjadi kekuatan penyeimbang jika dikelola dengan integritas. Namun, ketika ia dijadikan kedok premanisme, ia adalah sampah yang harus dibuang. Tantangan terbesar kita bukanlah memberangus ormas, melainkan memperbaiki negara yang lalai. Sebab, selama negara absen, premanisme akan tetap ada—dengan atau tanpa seragam ormas.
Pada akhirnya, demokrasi hanya bermakna jika diisi oleh kehadiran negara yang adil, hukum yang tegak, dan masyarakat yang berani berkata: "Kami tidak butuh preman!"