Setiap kali seorang anak lahir dalam keluarga Muslim, pertanyaan klasik muncul: "Apa nama yang Islami?". Konvensi sosial sering menjawab: "Pakailah nama Arab!". Tapi benarkah Islam mengikat identitas seseorang pada bahasa tertentu? Ataukah ini hanya warisan budaya yang disalahartikan sebagai dogma?
Pertanyaan ini bukan sekadar persoalan linguistik, tetapi menyentuh akar filosofis: Apakah Islam—sebagai agama yang mengklaim universal—terkurung dalam ekspresi bahasa Arab?. Mari kita telusuri dengan kritis, tanpa terbelenggu oleh romantisme sejarah atau bias kultural.
Tidak bisa dimungkiri, bahasa Arab adalah medium suci bagi Al-Qur'an dan Sunnah. Allah berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
"Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Qur'an berbahasa Arab agar kamu mengerti." (QS. Yusuf: 2).
Namun, ayat ini menjelaskan fungsi bahasa Arab sebagai alat komunikasi, bukan sebagai syarat mutlak untuk segala hal—termasuk nama. Nabi Muhammad ﷺ sendiri mengubah nama sahabat yang bermakna buruk—seperti Harb (perang) menjadi Salm (damai)—tanpa memaksa mereka mengganti bahasa aslinya. Makna, bukan bahasa, yang menjadi patokan.
Sejarah Islam dipenuhi tokoh-tokoh besar dengan nama non-Arab yang justru menjadi simbol keislaman:
Bilal ibn Rabah (nama asli: Bilal, bahasa Ethiopia).
Saladin (Salahuddin al-Ayyubi, nama asli: Yusuf, bahasa Ibrani).
Rumi (Jalaluddin, nama Persia yang berarti keagungan agama).
Di Nusantara, nama seperti "Raden Mas Kartono" atau "Cut Nyak Dhien"—yang berakar pada bahasa lokal—tidak mengurangi nilai keislaman mereka. Bahkan, Wali Songo menggunakan nama Jawa seperti Sunan Kalijaga untuk mendekati masyarakat tanpa kehilangan esensi dakwah.
Pertanyaan : Jika nama Arab adalah syarat mutlak, mengapa para ulama klasik tidak mengganti nama-nama ini?
Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-‘alamin), bukan hanya untuk bangsa Arab. Al-Qur’an menegaskan:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
"Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya: 107).
Jika Islam merangkul keragaman budaya, mengapa kita mempersempitnya dengan mengkultuskan bahasa Arab dalam pemberian nama? Bahasa hanyalah wadah, sementara nilai Islami adalah isinya. Nama "Aydın" (Turki: cerdas), "Nur" (Melayu: cahaya), atau "Imani" (Swahili: kepercayaan) tetap mengandung makna mulia, meski tidak berbahasa Arab.
Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ فَأَحْسِنُوا أَسْمَاءَكُمْ
"Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari Kiamat dengan nama-nama kalian, maka baguskanlah nama kalian." (HR. Abu Dawud).
Hadis ini tidak menyebut "pakailah bahasa Arab", tetapi menekankan kebaikan makna. Nama "Fajar Siddiq" (Indonesia: fajar yang jujur) atau "Hikmatullah" (Urdu: kebijaksanaan Allah) sama-sama memenuhi kriteria ini.
Sebagian pihak berargumen:
"Nama Arab adalah identitas Muslim sejati!"
"Bahasa Arab adalah bahasa surga!"
Tanggapan filosofis:
Identitas Muslim terletak pada tauhid dan akhlak, bukan pada bahasa nama.
Jika bahasa Arab adalah syarat mutlak, mengapa Allah tidak menciptakan semua manusia berbicara Arab?
Pernyataan bahwa "bahasa Arab adalah bahasa surga" pun perlu dikritisi: Ini adalah interpretasi ulama terhadap hadis lemah (dhaif), bukan dalil qath’i.
Islam adalah agama yang hidup dalam keragaman. Memaksakan nama Arab justru bertentangan dengan semangat inklusivitasnya. Yang utama adalah makna, bukan bahasa. Selama nama mengandung doa baik, menghindari kesyirikan, dan selaras dengan nilai Islam, ia sah secara syar’i—meski berasal dari bahasa Jepang, Swahili, atau Jawa.
Seperti kata Ali bin Abi Thalib:
"Manusia tidur dalam kematian, hingga bahasa membangunkannya."
Tapi ingat: Bahasa hanya alat, sementara ruh Islam adalah universalitas.
Mungkin, kegelisahan kita tentang "nama Islami" adalah cermin dari kegamangan identitas: takut tidak dianggap cukup Muslim jika tidak mengadopsi simbol-simbol Arab. Padahal, Islam mengajarkan kita untuk percaya diri dalam keberagaman—sebagaimana alam semesta yang diciptakan Allah dalam warna-warni berbeda.
Jika Nabi Ibrahim boleh bernama asli Abraham (Ibrani), Nabi Isa disebut Jesus (Yunani), dan Nabi Muhammad dipuji dalam syair Persia Rumi—lalu mengapa kita membatasi diri dalam sangkar bahasa?
Catatan Penulis: Tulisan ini bukan upaya menafikan keistimewaan bahasa Arab, tetapi mengajak kita membedakan antara esensi agama dan budaya yang menyertainya. Selama nilai Islami terjaga, biarkan nama-nama itu berkisah dalam ribuan bahasa—seperti air yang mengalir dalam sungai-sungai berbeda, namun tetap menyatu menuju lautan tauhid.