Ada fenomena menarik yang perlu kita renungkan: sebuah majelis sholawatan (acara keagamaan Islam) menggelar acara atas nama ibadah, tapi justru meninggalkan masalah bagi lingkungan. Suara pengeras yang terlalu keras mengganggu ketenangan warga, sampah berserakan usai acara, dan tidak ada yang bertanggung jawab membersihkannya. Di sisi lain, klub malam—yang sering dianggap sebagai "tempat maksiat"—justru mengadakan acara dengan musik keras di ruang kedap suara sehingga tak mengganggu sekitar, dan kebersihan lokasi selalu terjaga setelah acara selesai.
Majelis sholawatan sering diadakan di ruang terbuka atau tempat ibadah dengan pengeras suara yang volumenya maksimal. Niatnya mungkin baik: menyebarkan syiar Islam. Tapi ketika suara tersebut sampai mengganggu ketenangan warga sekitar—anak-anak belajar, orang sakit beristirahat, atau lansia yang butuh kedamaian—apakah ini masih bisa disebut "sopan"?
Di sisi lain, klub malam justru seringkali dirancang dengan sistem kedap suara. Mereka sadar musik keras bisa mengganggu, sehingga berinvestasi pada dinding dan teknologi peredam suara. Meski di dalam ruangan musiknya mengguncang, lingkungan sekitar tetap tenang. Di sini, ada kesadaran untuk tidak mengganggu hak orang lain.
Bagaimana mungkin acara yang dianggap religius malah mengabaikan hak tetangga untuk hidup tenang? Bagaimana mungkin sampah dibiarkan berserakan, padahal membersihkannya adalah bentuk syukur atas nikmat tempat yang diberikan Allah? Jika tujuannya ibadah, seharusnya seluruh proses acara—dari awal hingga akhir—mencerminkan akhlak Islami.
Klub malam memang bukan ruang yang lekat dengan nilai spiritual, tapi secara teknis, mereka sering lebih disiplin. Musik keras diputar di dalam ruang kedap suara, sehingga tidak mengganggu lingkungan. Setelah acara, petugas kebersihan langsung bekerja: sampah dibuang, lantai disapu, dan segala kerusakan diperbaiki. Mereka paham bahwa kebisingan dan kekotoran bisa berujung pada protes warga atau sanksi hukum.
Setelah acara sholawatan usai, tak jarang lokasi acara dipenuhi sampah berserakan: botol plastik, sisa makanan, atau kertas. Peserta pulang tanpa peduli membersihkan, panitia pun sering abai. Padahal, Islam mengajarkan kebersihan sebagai bagian dari iman.
Klub malam justru punya standar operasional yang ketat. Petugas kebersihan langsung bekerja begitu acara selesai. Sampah dikumpulkan, lantai dipel, bahkan bau tidak sedap dihilangkan. Mereka paham: kebersihan adalah tanggung jawab pengelola, bukan sekadar pilihan.
Di sini, klub malam menunjukkan kesadaran akan tanggung jawab sosial. Mereka tidak ingin aktivitasnya merugikan orang lain. Bagi mereka, ini bukan soal agama, tapi soal kepatuhan pada aturan dan etika bermasyarakat.
Majelis sholawatan mungkin bermaksud baik: mengajak orang berzikir dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tapi niat baik saja tidak cukup jika tidak diiringi tanggung jawab sosial. Menyebarkan kebaikan harusnya tidak mengorbankan kenyamanan orang lain.
Kelompok yang mengatasnamakan agama justru mengabaikan nilai-nilai dasar agama dalam praktiknya. Sementara pihak yang dianggap "tidak religius" malah lebih menghargai hak orang lain.
Klub malam memang tidak punya pretensi religius. Tujuan mereka jelas: hiburan. Namun, mereka justru lebih konsisten dalam mematuhi aturan—mulai dari izin acara, pengaturan suara, hingga kebersihan. Di sini, "kesopanan" tidak diukur dari niat, tapi dari cara menghargai lingkungan
Ini bukan tentang mana yang lebih baik antara klub malam atau majelis sholawatan, melainkan tentang keseriusan menghormati lingkungan. Agama seharusnya mengajak manusia menjadi lebih baik, bukan sekadar ritual yang egois. Jika acara keagamaan justru menjadi sumber masalah, apa bedanya dengan yang mereka kritik?
Jangan Jadikan Agama sebagai Tameng
Mengatasnamakan agama tapi melupakan hak orang lain adalah bentuk kemunafikan. Ibadah harus menyatukan, bukan memecah.
Tanggung Jawab adalah Kunci
Baik klub malam maupun majelis sholawatan wajib memastikan acara mereka tidak merugikan publik. Jika klub malam bisa patuh pada aturan kebisingan dan kebersihan, mengapa acara keagamaan tidak?
Bersihkan Sampah, Bersihkan Hati
Membersihkan sampah usai acara adalah cerminan kepedulian. Jika hati ingin dekat dengan Tuhan, mulailah dari hal kecil: menghargai lingkungan.
Sopan atau tidaknya sebuah acara tidak ditentukan oleh label "religius" atau "hiburan", melainkan dari cara acara itu dijalankan.
Jika sebuah majelis sholawatan mengatasnamakan agama tetapi mengabaikan hak tetangga dan lingkungan, ia kehilangan makna "kesopanan" yang justru diajarkan agama.
Jika klub malam dianggap "tidak bermoral" tetapi bisa menjaga ketertiban dan kebersihan, setidaknya mereka punya komitmen pada tanggung jawab sosial.
Agama mengajarkan keseimbangan: beribadah tak boleh merugikan orang lain. Sementara, dunia hiburan sekalipun bisa memberi contoh tentang kedisiplinan. Mari belajar dari keduanya: niat baik harus dibarengi tindakan baik, dan kesopanan bukan sekadar simbol, tapi bukti.
Agama mengajarkan keseimbangan: beribadah tanpa mengganggu, bersuka ria tanpa merusak. Masalahnya bukan pada jenis acaranya, tapi pada cara kita menghormati sesama. Majelis sholawatan bisa belajar dari klub malam dalam hal kedisiplinan, sementara klub malam bisa belajar dari nilai-nilai spiritual untuk memberi makna lebih pada aktivitasnya.
Yang membedakan "kesopanan" bukanlah jenis acaranya, melainkan kesadaran untuk tidak egois. Entah itu sholawatan atau klub malam, yang penting adalah: Jangan sampai kegiatan kita menjadi beban bagi orang lain. Itulah esensi sopan santun sejati. Yang terpenting jangan sampai kita lebih "beradab" dalam berpesta, tapi "liar" dalam beribadah.