Kebebasan sering kali diagungkan sebagai hak fundamental manusia. Ia dikemas dalam narasi indah tentang otonomi individu: hak untuk berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai kehendak, selama tidak melanggar hukum atau merugikan orang lain. Namun, pertanyaannya: apakah kebebasan benar-benar seperti itu? Apakah ia setara bagi semua orang, atau sekadar janji kosong yang penuh ilusi?
Dalam idealisme, kebebasan tampak seperti cakrawala yang memikat—tak terbatas, universal, dan merata. Tapi realitas berbicara lain. Kebebasan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ia bergantung pada akses terhadap sumber daya: ekonomi, pendidikan, kekuasaan, dan koneksi sosial. Tanpa akses ini, kebebasan hanyalah sebuah retorika. Ia menjadi milik segelintir orang yang berada di puncak piramida sosial, sementara bagi yang lain, ia tak lebih dari angan-angan.
Mari kita bicarakan soal hukum, yang kerap disebut sebagai penjaga batas kebebasan. Dalam kenyataannya, hukum tidak selalu netral. Ia sering menjadi alat yang melayani mereka yang memiliki akses lebih besar terhadap kekuasaan. Dengan daya tawar ekonomi yang tinggi, seseorang dapat memutarbalikkan hukum, menundukkan keadilan, bahkan mengatur ulang definisi “kebebasan” sesuai kepentingan mereka. Kita lihat contoh ini dalam banyak kasus, di mana orang-orang berpengaruh lolos dari jerat hukum, sementara yang lemah terpenjara oleh pelanggaran kecil.
Di sisi lain ekonomi merupakan salah satu hal lain dari kebebasan individu. Tanpa daya beli atau nilai tukar, kebebasan hanya menjadi sebuah konsep hampa. Bayangkan seseorang yang bekerja 12 jam sehari untuk upah minimum. Apakah ia bebas? Secara hukum, mungkin iya. Ia memiliki hak berbicara, memilih, dan berpindah tempat. Tapi secara nyata, pilihannya terbatas oleh kekurangan sumber daya. Ia tidak memiliki waktu atau tenaga untuk benar-benar menjalani hidup yang “bebas.” Sebaliknya, mereka yang memiliki kekayaan melimpah bisa membeli waktu, ruang, dan bahkan kebebasan orang lain. Ironisnya, mereka bisa melanggar batas-batas yang seharusnya tidak dilanggar—baik itu hak orang lain maupun hukum itu sendiri.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebebasan tidak hanya tentang tidak melanggar hak orang lain atau hukum, melainkan tentang struktur kekuasaan yang menopangnya. Sebuah sistem di mana kebebasan sejati hanya tersedia bagi mereka yang memiliki daya tawar. Dalam dunia yang diwarnai ketimpangan, kebebasan bukanlah hak universal, melainkan sebuah hak istimewa.
Lalu, apa artinya ini bagi kita? Haruskah kita menyerah pada kenyataan bahwa kebebasan hanyalah milik segelintir orang? Tentu tidak. Kesadaran adalah langkah pertama. Kita harus menyadari bahwa kebebasan sejati tidak dapat dicapai tanpa keadilan sosial. Kebebasan bukan hanya soal kebebasan individu, melainkan kebebasan kolektif—sebuah dunia di mana setiap orang memiliki akses yang setara terhadap sumber daya dan peluang.
Mengkritisi kebebasan dalam kerangka ini bukan berarti menolaknya, melainkan memurnikannya. Kebebasan bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab. Ia bukan sekadar tentang mendapatkan apa yang kita inginkan, tetapi tentang memastikan bahwa orang lain juga memiliki peluang yang sama. Dalam dunia yang ideal, kebebasan adalah jembatan, bukan tembok; ia adalah kesempatan, bukan monopoli.
Pada akhirnya, kebebasan adalah janji yang harus terus diperjuangkan, bukan sekadar diberikan. Dan perjuangan itu dimulai dengan mengakui bahwa selama ada ketimpangan dalam akses terhadap ekonomi dan kekuasaan, kebebasan tetap menjadi ilusi yang indah, tapi kosong.