Di tengah luasnya samudra umat Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, ada satu pertanyaan yang sering menggema: Mengapa umat yang pernah menjadi pelopor peradaban dunia kini sering kali terjebak dalam mentalitas yang tampak inferior? Fenomena ini, di mana sebagian umat Islam terlihat kehilangan arah, perlu direnungkan dengan kepala dingin dan hati yang terbuka.
Mari kita mulai dengan sebuah kenyataan yang menyedihkan: banyak pemuka agama, yang seharusnya menjadi pelita bagi umat, justru menjadikan agama sebagai alat untuk mengisi kepentingan pribadi, mempertahankan status sosial, atau memperkaya golongan mereka. Dalam Islam, mereka dikenal sebagai ulama su’, para ulama yang menyesatkan. Rasulullah telah memperingatkan kita akan keberadaan mereka, bahkan menyebut bahwa ulama seperti ini lebih buruk dari Dajjal. Mereka berdiri di mimbar-mimbar, bersuara lantang tentang kebenaran, tetapi perilakunya mengaburkan cahaya Islam yang sejati.
Islam, agama yang begitu luhur, tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menggantungkan hidup kepada belas kasihan orang lain. Rasulullah dengan tegas melarang umatnya meminta-minta, kecuali dalam kondisi terpaksa, seperti dalam keadaan kelaparan yang mengancam jiwa. Namun, realitas yang kita lihat di jalanan begitu kontras dengan ajaran ini. Banyak orang mengulurkan tangan meminta sumbangan, membawa kitab suci yang lusuh atau foto bangunan masjid yang belum rampung, berharap pada belas kasihan orang yang lewat. Fenomena ini tidak hanya merendahkan martabat Islam, tetapi juga menunjukkan betapa lemahnya mentalitas sebagian umat.
Lalu, apakah yang menjadi akar masalahnya? Salah satu jawabannya ada pada kepemimpinan spiritual. Para ulama yang seharusnya menjadi pembimbing, justru menjadi biang keladi penyubur mentalitas miskin. Mereka terus-menerus menggiring umat pada doktrin pasrah, tanpa memberikan teladan untuk mandiri. Umat dibiasakan menggantungkan hidup pada donasi dan hibah, bukan pada keringat kerja keras dan inovasi.
Lebih ironis lagi, banyak dari pemuka agama yang hanya sibuk memecah-belah umat, mempertahankan status quo mereka, dan memperkuat pengaruh dengan retorika agama yang dangkal. Mereka mengklaim memperjuangkan Islam, tetapi dalam praktiknya mereka justru menciptakan umat yang lemah dan bergantung.
Jika kita menengok sejarah, umat Islam dahulu adalah pelopor peradaban Sejarah mencatat dengan tinta emas bagaimana umat Islam pernah menjadi pusat peradaban dunia. Dari bidang sains, filsafat, hingga arsitektur, umat Islam pernah menjadi mercusuar dunia. Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko adalah universitas tertua di dunia yang didirikan oleh seorang perempuan Muslimah, Fatimah al-Fihri. Dari Baghdad hingga Cordoba, Islam melahirkan para pemikir besar seperti Al-Khawarizmi, Al-Ghazali, Ibn Sina (Avicenna), Al-Khwarizmi, Al-Farabi hingga Ibnu Khaldun adalah bukti bahwa Islam melahirkan manusia-manusia besar yang mampu mengubah dunia. Peradaban Islam menciptakan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya yang menjadi inspirasi dunia. Tetapi kini, umat Islam, meskipun populasinya begitu besar, sering kali terlihat seperti buih di lautan—banyak tetapi tak berdaya.
Apa yang salah? Kita telah kehilangan esensi Islam yang sebenarnya. Islam adalah agama yang mengajarkan kemandirian, kerja keras, inovasi, dan kontribusi kepada masyarakat luas. Namun, sebagian besar umat saat ini justru bergantung pada peradaban orang lain. Teknologi, ilmu pengetahuan, hingga gaya hidup modern yang kita nikmati saat ini mayoritas berasal dari peradaban lain. Di mana kontribusi kita sebagai umat Islam?
Rasulullah SAW pernah bersabda, "Akan datang suatu masa di mana umat Islam menjadi seperti buih di lautan, meskipun jumlahnya banyak tetapi tidak memiliki kekuatan." Hadis ini menggambarkan realitas kita saat ini: umat yang besar jumlahnya, tetapi lemah, tercerai-berai, dan tanpa arah. Kita kehilangan kualitas, karena lebih sibuk mempertahankan simbolisme agama daripada esensinya. Kita lebih bangga pada jumlah umat, tanpa peduli pada kedalaman iman dan kontribusi nyata terhadap dunia.
Islam adalah agama yang memuliakan kerja keras, kemandirian, dan kontribusi terhadap kemanusiaan. Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." Tetapi bagaimana kita bisa bermanfaat jika kita sendiri terus berada dalam mentalitas meminta-minta?
Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan saling menyalahkan. Solusinya adalah kembali kepada ajaran Islam yang sejati dan inropeksi dari setiap individu bahwa Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk inferior atau bergantung. Sebaliknya, Islam mendorong umatnya untuk berdiri tegak, memimpin, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Peran Pemimpin Spiritual
Para ulama harus kembali ke peran sejatinya sebagai pembimbing yang memerdekakan umat, bukan memperbudaknya. Mereka harus berhenti mengajarkan ketergantungan dan mulai menanamkan semangat mandiri, kerja keras, dan kreativitas dalam diri umat.
Pendidikan yang Membebaskan
Pendidikan Islam harus lebih dari sekadar hafalan ayat dan ritual. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu duniawi. Dengan pendidikan yang holistik, umat Islam bisa kembali berkontribusi dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Teladan dalam Keseharian
Setiap individu Muslim harus berusaha menjadi teladan dalam kehidupannya. Rasulullah adalah sosok yang mandiri, penuh semangat, dan memberikan solusi nyata kepada masyarakatnya. Umat Islam harus meneladani akhlak Rasulullah, bukan hanya menjadikannya sebagai slogan semata.
Mengembalikan Martabat Islam
Sudah saatnya umat Islam berhenti meminta-minta di jalanan dan mulai membangun ekonomi yang kokoh. Masjid-masjid tidak perlu dibangun dengan meminta sumbangan yang merendahkan martabat, melainkan dengan semangat gotong royong, investasi, dan inovasi yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat.
Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menjadi pengemis, baik secara fisik maupun mental. Islam adalah agama yang memuliakan manusia, yang mengajarkan kemandirian dan kontribusi nyata kepada dunia. Jika umat Islam saat ini terjebak dalam mentalitas miskin dan inferior, itu bukanlah kesalahan agama, melainkan kesalahan manusia yang menyimpang dari ajarannya.
Umat Islam harus kembali kepada inti ajaran agamanya. Jangan biarkan para ulama su’ merusak mentalitas umat. Jangan biarkan Islam yang agung ini kehilangan cahayanya karena perilaku segelintir orang yang menyimpang. Kita adalah pewaris peradaban besar, dan tugas kita adalah mengembalikan kejayaan itu dengan kerja keras, keikhlasan, dan keteladanan. Kita harus berani mengakui bahwa banyak pemuka agama telah gagal menjalankan amanahnya. Namun, perubahan dimulai dari diri kita sendiri. Kembalilah kepada Al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman yang mendalam. Bangkitlah dari keterpurukan, karena Islam tidak pernah mengajarkan untuk menyerah pada keadaan. Ingatlah bahwa Islam adalah agama yang memuliakan kerja keras, ilmu pengetahuan, dan kontribusi kepada peradaban. Jangan biarkan ulama su’ mencuri kebesaran agama ini.
Sejarah menunggu untuk kita tuliskan kembali
dan kali ini, pastikan kita melakukannya dengan tinta emas yang penuh kemuliaan.