Istilah "penjajahan" kerap diasosiasikan dengan dominasi asing, seperti Belanda atau Jepang di masa lalu. Namun, pascakemerdekaan, bangsa Indonesia menghadapi paradoks baru: penjajahan yang dilakukan oleh bangsanya sendiri. Fenomena ini bukanlah penaklukan fisik, melainkan penindasan struktural di mana segelintir elite—politikus, pengusaha, atau birokrat—menguasai sumber daya, politik, dan hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok, sementara mayoritas rakyat terjebak dalam ketimpangan dan ketidakberdayaan.
Filsuf Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth (1961) pernah memperingatkan bahwa pascakolonialisme, bangsa yang merdeka bisa terjebak dalam "kebangsaan palsu" jika kekuasaan hanya beralih ke elite lokal yang meniru pola penindasan kolonial. Inilah yang terjadi di Indonesia: neokolonialisme internal.
Berikut metode sistematis yang mengabadikan penindasan ini:
1. Oligarki dan Konsentrasi Kekuasaan
Dinamika: Kekuasaan terpusat pada segelintir keluarga atau kelompok yang mengontrol politik, ekonomi, dan media. Contoh: Para oligark yang mendanai partai politik untuk mengamankan kepentingan bisnis mereka.
Dampak: Kebijakan publik seperti UU Cipta Kerja atau eksploitasi tambang sering mengabaikan suara rakyat, tetapi menguntungkan konglomerasi.
2. Korupsi sebagai Alat Eksploitasi
Modus Operandi: Anggaran negara dikorupsi melalui proyek fiktif, markup, atau suap. Kasus korupsi seperti skandal e-KTP (yang merugikan negara triliunan rupiah) adalah bukti bagaimana uang rakyat "dicolonisasi" untuk kemewahan segelintir orang.
Efek Domino: Korupsi birokrasi menghambat pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan—sektor vital untuk pemberdayaan masyarakat.
3. Eksploitasi Sumber Daya dan Ketimpangan Regional
Contoh Nyata: Papua dan Kalimantan, kaya akan emas dan batubara, tetapi masyarakat lokal hidup dalam kemiskinan dan konflik agraria. Perusahaan-perusahaan besar, sering dengan backing penguasa, mengeruk keuntungan tanpa membagi hasil adil.
Mekanisme: Izin usaha diberikan melalui "rekayasa hukum", sementara masyarakat adat direndahkan haknya.
4. Hukum yang Diskriminatif
Ketidakadilan: Hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Kasus pencuri kecil dihukum berat, sementara koruptor atau pelaku kekerasan lingkungan mendapat vonis ringan.
Legal Oligarki: Pengadilan bisa menjadi alat untuk melegitimasi ketimpangan, seperti pembatalan kasus korupsi dengan alasan teknis.
5. Hegemoni Media dan Manipulasi Kesadaran
Strategi: Kepemilikan media oleh oligark digunakan untuk membentuk narasi publik. Isu seperti kemiskinan atau kerusakan lingkungan diabaikan, sementara politik identitas dihembuskan untuk mengalihkan perhatian dari masalah struktural.
Akibat: Masyarakat terjebak dalam "penjara mental", menganggap ketimpangan sebagai takdir, bukan hasil sistem yang timpang.
6. Pendidikan yang Tidak Membebaskan
Problem: Sistem pendidikan terjebak dalam kurikulum yang tidak kritis, memproduksi tenaga kerja murah tanpa kemampuan analitis untuk mempertanyakan status quo.
Kesenjangan: Anak-anak miskin di daerah terpencil minim akses ke pendidikan berkualitas, mengabadikan siklus kemiskinan.
Penjajahan oleh bangsa sendiri juga bersifat kultural. Sosiolog Pierre Bourdieu menyebutnya "kekerasan simbolik"—suatu kondisi di mana kaum tertindas menerima hierarki sosial sebagai sesuatu yang alamiah. Di Indonesia, mentalitas feodal seperti sungkan mengkritik atasan atau menganggap kekuasaan sebagai "wahyu" turut melanggengkan ketidakadilan.
Pendidikan Kritis: Membangun kurikulum yang mendorong analisis struktural dan kesadaran hak.
Reformasi Sistem Politik: Membatasi donasi politik perusahaan, memperkuat transparansi anggaran, dan mendorong desentralisasi yang partisipatif.
Gerakan Sosial Solidaritas: Aliansi antara buruh, petani, intelektual, dan generasi muda untuk menuntut keadilan distributif.
Pemberdayaan Hukum Rakyat: Membentuk lembaga advokasi independen yang memastikan hukum berpihak pada rakyat kecil.
Indonesia tidak bisa benar-benar merdeka selama masih ada anak bangsa yang menjajah saudaranya sendiri. Penjajahan internal adalah pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan: "untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa". Seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer: "Perjuangan melawan penjajahan adalah juga perjuangan melawan kebodohan dan ketakutan dalam diri sendiri."
Maka, tugas kita kini adalah membongkar sistem yang menindas, menggantinya dengan tatanan yang adil—dimana kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat.