Demokrasi, dalam narasi idealnya, adalah sistem yang menjanjikan kedaulatan rakyat. Suara setiap warga dianggap setara, partisipasi adalah hak sakral, dan kekuasaan hadir sebagai pelayan publik. Namun, dalam praktiknya, demokrasi sering kali menjelma menjadi teater politik di mana feodalisme modern beroperasi dengan licik. Di balik retorika pemilu, kebebasan berpendapat, dan jargon "dari rakyat, oleh rakyat", tersembunyi struktur kekuasaan yang justru mengingkari roh demokrasi itu sendiri.
Fenomena ini bukan sekadar kegagalan sistem, melainkan political mimicry—sebuah pertunjukan di mana kekuasaan lama bersalin rupa, memakai jubah demokrasi sambil mempertahankan cakar oligarkis. Inilah neofeodalisme: sistem yang menjadikan hak pilih sebagai ilusi, partisipasi sebagai ritual, dan kedaulatan rakyat sebagai mitos.
Demokrasi yang sejati mengandalkan partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan. Namun, di bawah sistem ini, demokrasi hanya dijaga sebagai formalitas. Pemilu diadakan untuk memproduksi ilusi keadilan, tetapi proses politik sebenarnya dikendalikan oleh uang, lobi korporasi, dan aliansi kekuasaan yang tersembunyi. Politisi yang terpilih sering kali bukan wakil rakyat, melainkan “pembeli” kursi melalui kampanye berbiaya tinggi atau jaringan patronase. Akibatnya, kebijakan publik lebih sering melayani kepentingan minoritas kaya, bukan masyarakat luas.
Ini mirip dengan sistem feodal, di mana rakyat desa “memilih” tuan tanah sebagai penguasa, tetapi hak mereka tetap terbatas pada jaminan hidup yang minim. Di era modern, “tuan tanah” diganti dengan oligarki ekonomi dan politik, yang memonopoli kekayaan dan membeli legitimasi melalui demokrasi formal.
Feodalisme klasik bercirikan hubungan patron-klien: penguasa bertindak sebagai tuan tanah yang memberikan perlindungan, sementara rakyat jelata membayar upeti dalam bentuk loyalitas buta. Dalam demokrasi modern, pola ini tidak hilang—ia hanya bermutasi. Parpol yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat, sering kali dikendalikan oleh dinasti politik atau oligarki. Kebijakan publik dirancang bukan untuk kepentingan umum, melainkan untuk memuaskan kelompok kepentingan yang mendanai kekuasaan. Rakyat, meski secara formal memiliki hak pilih, terjebak dalam ilusi pilihan: mereka hanya boleh memilih "tuan" yang sudah ditentukan oleh mesin politik, sementara kebijakan nyata tetap tak tersentuh oleh suara mereka.
Demokrasi yang sejati mengandalkan partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan. Namun, di bawah sistem ini, demokrasi hanya dijaga sebagai formalitas. Pemilu diadakan untuk memproduksi ilusi keadilan, tetapi proses politik sebenarnya dikendalikan oleh uang, lobi korporasi, dan aliansi kekuasaan yang tersembunyi. Politisi yang terpilih sering kali bukan wakil rakyat, melainkan “pembeli” kursi melalui kampanye berbiaya tinggi atau jaringan patronase. Akibatnya, kebijakan publik lebih sering melayani kepentingan minoritas kaya, bukan masyarakat luas.
Ini mirip dengan sistem feodal, di mana rakyat desa “memilih” tuan tanah sebagai penguasa, tetapi hak mereka tetap terbatas pada jaminan hidup yang minim. Di era modern, “tuan tanah” diganti dengan oligarki ekonomi dan politik, yang memonopoli kekayaan dan membeli legitimasi melalui demokrasi formal.
Ketidakberdayaan Rakyat: Ketika Sistem Dirancang untuk Membungkam
Mengapa rakyat tidak bisa berbuat apa-apa? Pertanyaan ini mengungkap paradoks demokrasi feodalistik. Pertama, ketidakberdayaan itu by design. Sistem elektoral yang tidak proporsional, mahalnya biaya politik, dan oligopoli informasi membuat partisipasi rakyat terhambat. Kedua, ada institutional capture: lembaga-lembaga negara—seperti pengadilan, lembaga antikorupsi, atau parlemen—dikooptasi untuk melayani agenda kekuasaan, bukan mengawalnya. Ketiga, ada keterasingan epistemik: rakyat dibiarkan buta terhadap mekanisme kekuasaan yang kompleks, sementara pendidikan politik sengaja tidak dijadikan prioritas.
Selain itu, kekuasaan feodalistik modern menggunakan dua strategi halus untuk melanggengkan ketergantungan rakyat: politik pencitraan dan patronase. Pemimpin diproyeksikan sebagai figur karismatik yang hampir sakral, sementara kebijakan yang sebenarnya eksploitatif dikemas sebagai "hadiah" atau "bantuan". Rakyat diajak bersyukur atas sekadar pencairan bansos atau proyek infrastruktur simbolis, tanpa diberi kesadaran bahwa itu adalah hak mereka, bukan kemurahan hati penguasa.
Feodalisme modern tidak selalu menggunakan pedang; ia bekerja melalui mekanisme yang lebih canggih. Pertama, represi legalistik: aturan hukum dirancang untuk melindungi kekuasaan, bukan warga. UU ITE, pasal karet tentang pencemaran nama baik, atau regulasi yang membatasi aksi unjuk rasa menjadi senjata untuk membungkam kritik. Kedua, kontrol ekonomi: kebijakan fiskal, proyek infrastruktur, dan alokasi anggaran dikendalikan untuk memperkaya segelintir elite, sementara rakyat dibiarkan berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Ketiga, hegemoni kultural: narasi "patriotisme" dan "kesatuan bangsa" digunakan untuk meredam perlawanan. Siapa pun yang mengkritik dianggap "pengganggu persatuan".
Yang lebih berbahaya adalah ketika partisipasi publik dijadikan formalitas. Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan), misalnya, sering kali hanya menjadi panggung teatrikal. Rakyat diundang untuk berbicara, tetapi keputusan telah ditetapkan sebelumnya. Aspirasi mereka dicatat, lalu dibiarkan menguap dalam dokumen perencanaan yang tak pernah direalisasikan. Proses ini bukan hanya mengabaikan suara rakyat, tetapi juga melukai rasa percaya mereka terhadap sistem.
Ketika kritik dianggap sebagai gangguan, ketika pengaduan hanya dijawab dengan janji kosong, rakyat perlahan masuk ke dalam siklus keputusasaan. Muncul dua respons ekstrem: apatisme atau radikalisme. Apatisme adalah penyakit demokrasi—rakyat tak lagi peduli karena yakin suara mereka tidak ada artinya. Mereka memilih untuk tidak memilih, tidak lagi percaya pada proses politik. Di sisi lain, segelintir kelompok yang frustrasi mungkin beralih ke kekerasan sebagai bentuk protes, karena saluran damai telah tertutup.
Namun, feodalisme modern justru diuntungkan oleh apatisme. Semakin rendah partisipasi, semakin mudah kekuasaan dikonsolidasikan. Pemilu dengan angka golput tinggi memvalidasi klaim elite bahwa "rakyat mendukung kami". Di sini, demokrasi tidak mati; ia dipelintir menjadi alat legitimasi untuk mempertahankan status quo.
Pertanyaan bukanlah "apakah demokrasi kita sudah mati?", melainkan "bagaimana cara merebutnya kembali?". Feodalisme dalam demokrasi hanya bisa dirobohkan melalui rekonstruksi kesadaran kolektif dan redefinisi relasi kuasa.
Melawan feodalisme yang bersarang dalam demokrasi memerlukan strategi multidimensi. Pertama, pendidikan politik kritis: rakyat harus sadar bahwa hak mereka bukanlah hadiah dari penguasa, melainkan sesuatu yang harus direbut. Kedua, penguatan institusi sipil: serikat buruh, LSM, komunitas akar rumput, dan media independen harus bersatu sebagai kekuatan penyeimbang. Ketiga, reformasi sistemik: memastikan independensi lembaga peradilan, membatasi masa jabatan politisi, dan melarang praktik oligarki dalam pendanaan partai.
Demokrasi tidak pernah diberikan secara cuma-cuma; ia harus diperjuangkan setiap hari. Feodalisme dalam baju demokrasi adalah pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan. Jika hari ini suara kita dibungkam, jika hak kita diinjak, itu bukan tanda untuk menyerah—itu justru alasan untuk lebih keras bersuara. Sejarah membuktikan bahwa tembok feodalisme sekokoh apa pun bisa runtuh oleh desakan kolektif yang gigih. Pertanyaannya: maukah kita menjadi generasi yang membiarkan feodalisme berkuasa, atau menjadi generasi yang menulis ulang sejarah?
Kekuasaan yang korup mungkin mencoba mengubur suara kita, tetapi selama masih ada api kesadaran di dalam dada, selama itu pula demokrasi sejati tetap mungkin untuk dilahirkan.