Dalam budaya yang menjunjung tinggi sopan santun, seringkali kita terjebak dalam ilusi kolektif: mengira bahwa sikap hormat yang kita tebarkan adalah cerminan kedewasaan beradab, padahal mungkin itu hanyalah ritual kosong yang mengabadikan ketimpangan. Fenomena "dihormati karena status, bukan karena peran" bukan sekadar persoalan etiket, melainkan cerminan sistem feodalisme yang menyamar dalam bahasa tubuh yang anggun, panggilan kehormatan yang megah, dan ritual penghormatan yang terstandarisasi.
Feodalisme klasik bertahan bukan melalui pedang atau benteng, tapi melalui mekanisme psikologis yang lebih halus: normalisasi hierarki sebagai "takdir". Ketika seorang pejabat dielu-elukan karena jabatannya—bukan karena kinerjanya—atau ketika orang tua secara otomatis dianggap selalu benar hanya karena usia, yang bekerja di sini adalah logika kekuasaan purba: otoritas bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan melalui kontribusi, melainkan hak prerogatif yang melekat pada posisi sosial.
Ironisnya, sistem ini sering dibungkus dalam retorika "menghormati yang lebih tua" atau "tata krama", seolah-olah mengkritiknya berarti melawan nilai luhur. Padahal, penghormatan sejati lahir dari pengakuan terhadap kearifan, keadilan, atau integritas—bukan dari kepatuhan buta pada gelar atau tahun kelahiran.
Ketika budaya menghormati status menjadi dogma, yang terjadi adalah pembusukan nalar kritis. Masyarakat diajarkan untuk "tunduk sebelum bertanya", menekan keinginan untuk memverifikasi apakah seseorang layak dihormati. Dampaknya dua arah: di satu sisi, pemegang status terlena dalam ilusi superioritas tanpa perlu membuktikan kapasitas; di sisi lain, masyarakat kehilangan keberanian untuk menuntut akuntabilitas.
Contoh nyata terlihat dalam birokrasi yang kaku, di mana seorang kepala dinas bisa menggagalkan inovasi staf muda hanya karena "tidak pantas" jika bawahan lebih cerdas dari atasan. Atau dalam keluarga yang memaksa anak menerima pernikahan paksa dengan dalih "tidak boleh membantah orang tua". Di sini, sopan santun berubah menjadi alat represi.
Perlu ditegaskan: menghormati manusia sebagai makhluk berharga adalah kewajiban moral, tetapi menghormati status adalah pilihan yang harus melalui penyaringan rasional. Etika sejati tidak mengenal "harus hormat", melainkan "layak dihormati". Seorang kuli bangunan yang bekerja keras membangun rumah lebih pantas mendapat penghargaan daripada pengusaha korup yang menyumbang masjid sambil mengeruk uang haram.
Pertanyaan kritisnya: ketika kita menyembah titel "profesor", "kyai", atau "direktur", apakah kita benar-benar mengagumi integritas intelektual dan moral mereka, atau sekadar takut pada simbol kekuasaannya? Di sinilah feodalisme modern bersarang—dalam ketakutan kita untuk mengatakan, "Maaf, Bapak salah," kepada atasan, atau keberanian untuk menolak permintaan tidak etis hanya karena yang meminta adalah "orang terpandang".
Melawan feodalisme sopan-santun memerlukan revolusi epistemologis (cabang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan, termasuk asal, sifat, dan cara memperolehnya). Pertama, kita harus memutus hubungan otomatis antara usia/jabatan dengan kearifan. Seorang gubernur berusia 50 tahun tidak otomatis lebih bijak daripada aktivis 25 tahun yang konsisten memperjuangkan lingkungan. Kedua, menciptakan ruang dialog yang setara—bukan "diskusi" dimana atasan bicara dan bawahan hanya boleh mengangguk. Ketiga, mengembalikan makna asli sopan santun sebagai bentuk pengakuan atas martabat manusia, bukan sebagai upacara pengukuhan status quo.
Tokoh-tokoh seperti B.J. Habibie patut dicontoh: meski berpendidikan tinggi, ia meminta dipanggil "Rudy" saja oleh anak muda, meruntuhkan tembok hierarki. Atau tradisi akademik di kampus-kampus Eropa dimana mahasiswa S3 boleh berdebat sengit dengan profesor asalkan argumennya logis. Inilah esensi masyarakat berpengetahuan: otoritas bisa digugat, kebenaran lebih penting daripada gengsi.
Kita perlu membayangkan ulang konsep penghormatan sebagai energi yang mengalir dua arah: petani menghormati ilmuwan yang meneliti pupuk organik, ilmuwan menghormati petani yang menguasai kearifan ekologi lokal. Guru menghargai pertanyaan kritis murid, murid menghargai dedikasi guru. Dalam model ini, rasa hormat bukan lagi alat kontrol sosial, tapi mekanisme untuk saling mengangkat martabat.
Feodalisme yang bersembunyi di balik budaya sungkem, panggilan "ndoro", atau ritual basi-keringat dalam rapat formal harus diakui sebagai penyakit yang menghambat kemajuan. Masyarakat yang benar-benar beradab bukanlah yang pandai membungkukkan badan, melainkan yang berani berdiri tegak sambil berkata, "Saya menghormati Anda sebagai manusia, sekarang mari kita bicara setara tentang kebenaran."
Akhir kata, seperti dikatakan filsuf Confucius, "Hakikat kesopanan terletak pada kepekaan terhadap keadilan, bukan pada kepatuhan pada ritual." Saatnya kita menulis ulang makna 'hormat' dengan tinta integritas, bukan darah feodalisme.
Kisah Habasyah: Ketika Para Mustad'afin Menentang Feodalisme dengan Kearifan
Sebuah episode penting dalam sejarah Islam justru memberikan preseden brilian tentang perlawanan terhadap feodalisme yang dibungkus kesopanan. Saat utusan Nabi Muhammad ﷺ tiba di Habasyah (Ethiopia) pada 616 M, mereka bukan hanya mencari suaka dari penganiayaan Quraisy, tapi secara tak langsung meruntuhkan logika feodal yang membelenggu Abyssinia. Di hadapan Raja Najasyi yang Kristen, Ja'far bin Abi Thalib tidak menyembah-nyembah atau menggunakan gelar-gelar muluk untuk merayu penguasa. Ia justru membacakan Surah Maryam dengan lantang—sebuah surat tentang keadilan, kesetaraan, dan perlawanan terhadap tirani—tanpa sedikitpun menjilat hierarki kerajaan.
Tindakan ini revolusioner: di tengah budaya istana yang feodal, di mana raja dianggap semi-dewa dan rakyat wajib prostrasi, para muslimin justru menghormati Najasyi sebagai manusia merdeka yang mampu membedakan kebenaran dari kekuasaan. Mereka menolak feodalisme ganda: baik feodalisme Arab yang mengkultuskan nasab Quraisy, maupun feodalisme Habasyah yang mengkerdilkan rakyat di hadapan singgasana. Ketika Najasyi akhirnya memeluk Islam, itu bukan karena tekanan status utusan Nabi, melainkan karena ketundukannya pada argumen yang memuliakan kemanusiaan—bukti bahwa otoritas sejati lahir dari substansi, bukan simbol.
Kisah ini mengajarkan bahwa penghormatan autentik bersifat transaksional: Najasyi dihormati karena adil, sementara utusan Nabi dihormati karena keberanian menyampaikan kebenaran tanpa terpesona oleh mahkota. Di sini, tidak ada ruang untuk "sungkem buta" atau puja-puji kosong; yang ada hanyalah dialog setara antara pencari kebijaksanaan. Inilah antitesis feodalisme: kekuasaan yang bersedia direndahkan hati oleh suara kaum tertindas, dan kaum tertindas yang berani berbicara lantang tanpa rasa inferior. Warisan Habasyah mengingatkan kita bahwa melawan feodalisme bukan berarti menolak kesopanan, tapi menolak mengorbankan kebenaran demi menyenangkan penguasa.
Feodalisme berkedok sopan santun masih hidup dalam bentuk lain: budaya "sungkem" buta kepada atasan, glorifikasi gelar tanpa makna, atau pengkultusan figur yang dianggap "darah biru". Ini bertentangan dengan semangat Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal."(QS. Al-Hujurat: 13).
Islam mengajarkan bahwa penghormatan harus diberikan karena peran seseorang dalam menegakkan kebenaran, bukan status. Nabi Yusuf as. dihormati karena kompetensinya mengelola ekonomi Mesir, bukan karena ia anak Yakub. Bilal bin Rabah, mantan budak, diangkat sebagai muadzin karena integritasnya, bukan karena garis keturunan.