Oligarki—sistem di mana kekuasaan politik dan ekonomi dikuasai oleh segelintir elite—bukan fenomena baru di Indonesia. Namun, oligarki modern tidak lagi hadir dengan seragam militer atau atribut feodal, melainkan bersembunyi di balik demokrasi formal, korporasi multinasional, dan narasi pembangunan. Seperti dikatakan Jeffrey A. Winters dalam Oligarchy (2011), oligarki adalah sistem yang bertahan dengan menyamar sebagai demokrasi, sambil mengonsentrasikan sumber daya di tangan minoritas.
Di Indonesia, oligarki adalah warisan Orde Baru yang berevolusi pasca-Reformasi. Jika dahulu kekuasaan terpusat pada Soeharto dan kroninya, kini oligarki tersebar dalam jaringan politik-bisnis yang kompleks. Pertanyaannya: bagaimana mengidentifikasi oligarki di tengah sistem yang seolah demokratis?
1. Melacak Jejaring Kekuasaan Politik-Bisnis
Indikator Utama: Lihat siapa yang mendanai partai politik atau kampanye pemilu. Oligark biasanya menyuntikkan dana besar ke partai untuk mengamankan kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka.
Contoh: Pengusaha tambang yang mendanai partai tertentu, lalu mendapatkan akses eksklusif ke izin pertambangan.
Pola Rekrutmen Politik: Banyak elite politik berasal dari keluarga pengusaha atau memiliki portofolio bisnis yang tumpang tindih dengan jabatan publik.
Contoh: Anggota DPR yang juga pemilik perusahaan sawit atau properti.
2. Kepemilikan Media dan Kontrol Narasi
Strategi Oligarki: Media massa dikuasai oleh konglomerat yang juga bermain di sektor politik. Mereka membentuk opini publik untuk mengaburkan isu struktural.
Contoh: Pemilik stasiun TV yang juga pengusaha properti, kerap menghindari pemberitaan kritis tentang konflik agraria.
Tanda Khas: Media jarang menginvestigasi kasus korupsi yang melibatkan pengusaha besar atau politisi berpengaruh.
3. Monopoli Sektor Strategis
Ekonomi Oligarkis: Sektor energi, tambang, perkebunan, dan properti biasanya dikuasai oleh 5-10 konglomerasi besar.
Contoh: Hampir 70% produksi batubara Indonesia dikontrol oleh segelintir perusahaan yang terkait dengan elite politik.
Data Kunci: Lihat laporan keuangan perusahaan dan daftar pemegang saham. Banyak nama tersembunyi di balik perusahaan "nominee" atau offshore.
4. Dinasti Politik dan Nepotisme
Dinamika Lokal: Di tingkat daerah, oligarki sering berbentuk dinasti keluarga yang menguasai posisi kepala daerah, DPRD, dan BUMD.
Contoh: Keluarga di Sumatra atau Jawa yang mengontrol jabatan gubernur, bupati, dan direktur perusahaan daerah selama puluhan tahun.
Pola Perekrutan: Pejabat publik mengangkat kerabat atau sekutu bisnis ke posisi strategis, seperti direktur BUMN atau badan pengawas.
5. Kebijakan yang Menguntungkan Korporasi
Legislasi Pro-Oligarki: Perhatikan UU yang diterbitkan DPR. Banyak kebijakan seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja, atau revisi UU KPK dirancang untuk melindungi kepentingan pemodal.
Contoh: Pelemahan KPK melalui revisi UU pada 2019, yang diyakini sebagai upaya oligarki untuk menghindari pengawasan.
Regulasi "Karet": Aturan yang multitafsir, seperti izin lingkungan "berkelanjutan", sering disalahgunakan untuk melegalkan eksploitasi sumber daya.
6. Siklus Krisis yang Diperpanjang
Manipulasi Krisis: Oligarki kerap memanfaatkan krisis (ekonomi, pandemi, bencana alam) untuk mengamankan proyek-proyek menguntungkan.
Contoh: Pengesahan UU Cipta Kerja di tengah pandemi COVID-19, ketika publik fokus pada kesehatan.
Skema Bailout: Bantuan pemerintah untuk UMKM justru dikorupsi atau disalurkan ke perusahaan besar yang dekat dengan kekuasaan.
Pemetaan Jaringan (Network Mapping):
Gunakan data kepemilikan saham, hubungan keluarga, dan transaksi keuangan untuk memetakan jaringan oligarki. Situs seperti ICIJ (International Consortium of Investigative Journalists) atau database KPK bisa menjadi sumber.
Analisis Kebijakan Publik:
Teliti siapa yang diuntungkan dari suatu UU. Jika kebijakan lebih berpihak pada korporasi daripada rakyat, oligarki mungkin sedang bekerja.
Investigasi Media Independen:
Media alternatif seperti Tempo, KBR, atau Project Multatuli sering mengungkap kasus yang disembunyikan media arus utama.
Laporan Keuangan dan Audit:
Lacak aliran dana APBN/APBD ke proyek-proyek infrastruktur. Proyek fiktif atau markup anggaran sering menjadi modus korupsi oligarki.
Sistem Offshore dan Rekayasa Hukum:
Oligark menyembunyikan kekayaan melalui perusahaan di surga pajak (Panama, Singapura) atau menggunakan nama samaran.
Keterbatasan Transparansi:
Data kepemilikan saham BUMN atau izin usaha sering tidak terbuka untuk publik.
Kekerasan Struktural:
Aktivis atau jurnalis yang membongkar oligarki kerap mendapat ancaman, kriminalisasi, atau pembunuhan karakter.
Mengidentifikasi oligarki adalah langkah awal untuk membongkar ketimpangan. Namun, tanpa gerakan kolektif, oligarki akan terus memperpanjang cengkeramannya. Seperti diingatkan oleh sosiolog Rizal Ramli: "Oligarki tak akan runtuh oleh doa, tapi oleh perlawanan terorganisir."
Masyarakat harus:
Meningkatkan Literasi Kritis: Memahami bagaimana kekuasaan dan uang bersirkulasi.
Mendukung Lembaga Anti-Korupsi: Tekan pemerintah untuk memperkuat KPK dan BPK.
Membangun Aliansi Transversal: Solidaritas antara buruh, akademisi, seniman, dan generasi muda untuk menuntut transparansi.
Oligarki mungkin tak kasatmata, tetapi jejaknya bisa dilacak—dan perlawanan harus dimulai dari kesadaran bahwa demokrasi sejati adalah ketika kedaulatan ada di tangan banyak, bukan segelintir orang.