Ada sebuah bangsa yang lahir dari luka. Ratusan tahun lamanya, ia dipaksa membungkuk oleh penjajah yang memahatkan rasa takut, rasa hina, ke dalam jiwa anak-anaknya. Ketika akhirnya lepas dari belenggu itu, ia mewarisi sesuatu yang lebih mengerikan daripada rantai di tangan: mentalitas inferior yang ditanam begitu dalam hingga menjadi warisan turun-temurun.
Anak-anak bangsa itu diajarkan untuk tunduk. Jangan kritis, karena kau hanya rakyat biasa. Jangan berinisiatif, itu bukan tugasmu; pejabatlah yang berpikir. Jangan berbicara, kau bukan pakar. Jangan menuntut, karena kau hanya pegawai. Jangan melawan, karena kau tidak akan pernah menang. Jangan berargumen, karena bodoh adalah kodratmu.
Ironi ini mengiris hati. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang begitu kaya, begitu beragam, dan begitu tangguh menahan derita selama berabad-abad, kini menjadi tahanan bagi dirinya sendiri? Bagaimana mungkin ketakutan yang dahulu ditanam penjajah, kini dijaga dan disiram oleh bangsa itu sendiri? Ketakutan itu mekar menjadi aturan-aturan tak tertulis, menjadi norma-norma yang memenjara pikiran.
Ketika seseorang mencoba berpikir di luar kebiasaan, ia dicemooh. "Siapa kamu? Apa hakmu?" Seolah-olah hak untuk berpikir hanya milik segelintir orang yang dianggap lebih tinggi. Ketika seseorang mencoba melawan ketidakadilan, ia diingatkan, "Kamu takkan menang. Diam saja. Tahan dirimu." Seolah-olah melawan adalah dosa, sementara menyerah adalah kebajikan.
Dan begitulah bangsa ini terus hidup dalam lingkaran setan. Mereka yang berkuasa menciptakan aturan untuk mempertahankan kekuasaan, sementara mereka yang di bawah diajari untuk mematuhi tanpa bertanya. "Sudah begini dari dulu," kata mereka. "Mengapa harus diubah?"
Tapi apakah ini takdir? Apakah ini harga mati? Apakah kita benar-benar ditakdirkan untuk menjadi bayang-bayang yang patuh dan bisu, selamanya? Aku menolak percaya itu. Karena dalam setiap anak yang lahir di negeri ini, masih ada nyala kecil, nyala yang diwariskan dari nenek moyang yang pernah berjuang untuk merdeka. Nyala itu adalah keberanian untuk bertanya. Keberanian untuk mempertanyakan.
Jika selama ini kita diberi seribu larangan, mungkin sudah waktunya kita bertanya: kenapa? Mengapa kita dilarang kritis, padahal pikiran adalah anugerah terbesar manusia? Mengapa kita dilarang inisiatif, padahal tindakanlah yang membawa perubahan? Mengapa kita dilarang bicara, padahal suara kita adalah kekuatan? Mengapa kita dilarang menuntut, padahal keadilan adalah hak semua? Mengapa kita dilarang melawan, padahal ketidakadilan adalah musuh bersama?
Bangsa ini tidak akan maju selama ia terus diajari untuk takut. Kita tidak akan menemukan jati diri selama kita terus mendiamkan apa yang salah. Ya, ada risiko ketika kita berpikir, berbicara, bertindak. Tapi bukankah keberanian selalu membawa risiko? Dan bukankah risiko adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah perubahan?
Hari ini, aku menulis bukan untuk menantang bangsa ini, tetapi untuk mengingatkan. Kita adalah anak-anak dari pejuang yang berani melawan takdir yang tidak adil. Darah mereka mengalir di tubuh kita, nyala semangat mereka masih ada di hati kita. Jangan biarkan nyala itu padam. Jangan biarkan ketakutan membelenggu kita lebih lama.
Kita bukan rakyat yang bodoh. Kita adalah manusia yang diberi akal untuk berpikir, hati untuk merasa, dan suara untuk didengar. Jika larangan-larangan itu masih ada, maka sudah saatnya kita melangkah, dengan pikiran terbuka dan keberanian penuh, untuk mengubahnya.
Bangsa ini terlalu berharga untuk terus hidup dalam ironi.